1

2

Wisudaku Yang Ke-2

Alhamdulillah dapat menyelesaikan studi Hukum Tata Negara di IAI Sultan Muhammad Syafiuddin Sambas

Bersama Dosen Terbaik IAI Sambas

Bapak H. Nashirun, MH, Bapak Utadz Hatoli, MH, dan Bapak Asman, MH.

5

6

Kamis, 13 Juni 2024

Apa Itu Pajak Restoran? Tarif, Perhitungan, Bayar dan Lapor

 

Makan di restoran tidak sama dengan Pajak Pertambahan Nilai, bila ada kenaikan tarif PPN 11% seperti saat ini, maka pajak makan restoran tidak serta merta ikut naik.

Pajak Restoran

Menurut Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

 

Sedangkan definisi restoran di sini yakni fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman yang dipungut bayaran, yang mencakup juga:

  • Rumah makan
  • Kafetaria
  • Kantin
  • Warung
  • Bar
  • Sejenisnya termasuk jasa boga/katering

Tidak sedikit yang beranggapan bahwa pajak yang tertera dalam struk saat membeli makan atau minum di restoran maupun kafe dinilai sebagai Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pajak yang muncul pada setiap struk pembelian makanan dan minuman itu bukanlah PPN, melainkan Pajak Restoran atau Pajak Bangunan 1 (PB1).

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Disebutkan bahwa pajak restoran masuk dalam kategori pajak daerah, tepatnya pajak kabupaten/kota, yang mendefinisikan Perpajakan Restoran sebagai pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

Perbedaan PPN dan PB1?

Meski pemajakannya sama-sama dari transaksi jual-beli, namun yang jadi pembeda dari PPN dan PB1 atau Pajak Restoran yakni dari segi pemungut pajaknya.

Jika PPN itu dipungut oleh Pemerintah Pusat (Pempus) dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sedangkan Pajak Restoran/PB1 dipungut oleh Pemerintah Daerah (Pemda).

Objek, Subjek dan WP Pajak Restoran

Ketahui siapa sebenarnya yang menanggung Pajak Restoran (PB1) ini dan apa saja yang menjadi objek atau dikenakan pajak resto ini, maupun pihak yang hanya ditugaskan untuk menyetorkan Pajak PB1 dari pembeli ke negara/kas daerah.

1. Objek Pajak Restoran PB1

Sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU PDRD, yang menjadi objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran dari pelayanan penjualan makanan/minuman yang dikonsumsi pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain (dibawa pulang).

Artinya, pembelian makanan dan minuman di restoran, baik dalam layanan antar (delivery service) maupun makan di tempat dan pemesanan di bawa pulang (take away) akan dikenakan pajak makan di restoran.

2. Subjek Pajak Restoran PB1

Subjek Pajak Restoran artinya subjek yang dikenakan atau dipungut PB1, yaitu pembeli dari layanan yang disediakan oleh restoran tersebut.

Pembeli di sini bisa orang pribadi maupun badan atau perusahaan yang menggunakan jasa restoran.

Jadi, PB1 ini sebetulnya tidak dibebankan kepada pemilik resto, akan tetapi dikenakan pada pembeli atau konsumennya.

Pembeli makanan/minuman membayarkan PB1 bersamaan pada saat melakukan pembayaran karena Perpajakan Restoran tersebut sudah tertera dalam struk pembelian.

3. Wajib Pajak Restoran PB1

Apa yang dimaksud Wajib Pajak (WP) PB1 atau WP Pajak PB1 Restoran?

WP Pajak Restoran artinya wajib pajak yang harus memungut dari pembeli dan menyetorkan Pajak PB1 Restoran tersebut ke kas negara.

Wajib pajak restoran ini bisa orang pribadi maupun badan pemilik atau pengusaha restoran yang bersangkutan.

Maka, WP PB1 merupakan pemilik atau yang menjalankan kegiatan dari usaha restoran tersebut.

Jadi dalam hal ini sebenarnya pemilik restoran tidak menanggung beban PB1 ini, akan tetapi hanya sebagai perantara yang menyetorkan pajak PB1 yang telah dibayar oleh konsumennya.

Tidak semua restoran memiliki kewajiban menyetorkan PB1. Ada kriteria tertentu bagi restoran yang tidak wajib membayar Pajak Restoran.

Masing-masing daerah menetapkan sendiri besar pendapatan yang tidak memiliki kewajiban membayar pajak restoran.

Contohnya, untuk DKI Jakarta menetapkan bagi restoran yang memiliki pendapatan tidak lebih dari Rp200.000.000 per tahun tidak termasuk objek PB1.

A. Tarif Pajak Restoran

PB1 dikenakan kepada restoran akan diterapkan setelah biaya pelayanan yang juga dibebankan kepada konsumen.

Dalam Pasal 40 ayat (1) UU PDRD ditegaskan bahwa tarif Pajak Restoran paling tinggi 10% dari DPP.

UU PDRD memberikan kewenangan setiap pemerintah daerah untuk menentukan besar tarif PB1 di wilayahnya.

Tak heran jika di setiap kabupaten/kota bisa saja besar tarif PB1 berbeda-beda.

Namun besar tarif Pajak Restoran itu tidak boleh melebihi batas tarif PB1 yang ditetapkan dalam UU PDRD.

Tapi, kebanyakan kabupaten/kota menetapkan tarif maksimal untuk PB1 sesuai dengan yang tertera dalam UU PDRD tersebut, meski ada juga daerah yang menerapkan tarif lebih rendah.

Tarif Pajak Restoran di 17 Kota Besar

Berikut beberapa kota besar di Indonesia dengan ketentuan besar tarif PB1 yang diberlakukan pemerintah kabupaten/kota.

No. Provinsi/Kota Tarif PB1 Peraturan Daerah
1 DKI Jakarta 10% Perda No. 11 Tahun 2011
2 Bogor 10% Perda No. 6 Tahun 2011
3 Yogyakarta 10% Perda No. 1 Tahun 2011
4 Semarang 10% Perda No. 4 Tahun 2011
5 Surakarta 3%, 5%, 10% Perda No. 4 Tahun 2011
6 Surabaya 10% Perda No. 4 Tahun 2011
7 Badung/Bali 10% Perda No. 16 Tahun 2011
8 Palembang 10% Perda No. 12 Tahun 2010
9 Medan 10% Perda No. 12 Tahun 2003
10 Pekanbaru 10% Perda No. 06 Tahun 2006
11 Banda Aceh 10% Perda No. 7 Tahun 2011
12 Pontianak 5% – 10% Perda No. 3 Tahun 2005
13 Balikpapan 3%, 7%, 10% Perda No. 28 Tahun 2009
14 Manado 10% Perda No. 2 Tahun 2011
15 Kupang 7% – 10% Perda No. 2 Tahun 2016
16 Sumbawa 10% Perda No. 4 Tahun 2006
17 Jayapura 10% Perda No. 1 Tahun 2012
       

B. Beda Service Tax dan Service Charge

Antara Pajak Restoran (service tax) dengan Service Charge atau biaya layanan itu berbeda, meski keduanya terkesan hampir serupa.

Memang tidak semua restoran mengenakan biaya layanan. Perlu diingat, bahwa antara Pajak Restoran (PB1) itu berbeda dengan biaya layanan.

Jika service tax (pajak restoran) itu pajak yang sudah ditetapkan pemerintah, sedangkan service charge adalah biaya yang ditetapkan oleh restoran.

Biaya layanan ini murni hanya dilakukan oleh masing-masing restoran yang membebankan biaya atas layanan yang diberikan, tapi di luar dari PB1.

Karena biaya layanan ini tidak masuk dalam pungutan pajak tapi masuk dalam kas restoran yang bersangkutan.

Tarif service charge ini juga ditentukan oleh masing-masing restoran, namun biasanya tidak sama atau lebih rendah dibanding PB1, yakni sekira 5% atau 7% bahkan ada juga yang mencapai 10%.

Cara Menghitung Pajak Makan di Restoran

Sebelum menghitung berapa besar Pajak PB1 ini, ketahui Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dari PB1 atau pajak makan di restoran ini.

1. Dasar Pengenaan Pajak PB1

DPP Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima oleh resto tersebut.

Jumlah pembayaran itu biasanya termasuk biaya layanan (service charge) yang biasanya dikenakan oleh restoran.

Jadi, angka DPP ini diperoleh setelah mengalikan antara jumlah harga dari item yang dibeli konsumen dengan tarif service charge.

Rumus Pajak Restoran (PB1) = DPP x Tarif Pajak Restoran

2. Contoh Hitung Pajak PB1 Restoran

Tuan A membeli Nasi Goreng satu porsi seharga Rp50.000 dengan segelas Es Teh Manis seharga Rp15.000 serta Tahu Goreng dan Telur Dadar masing-masing Rp5.000 dan Rp10.000 di Restoran BBB.

Restoran BBB memberlakukan biaya layanan (service charge) sebesar 5%. Restoran ini berada di Jakarta dengan tarif PB1 yang ditetapkan Pemda adalah 10%.

Maka, PB1 yang harus dibayarkan oleh Tuan A dan total uang yang harus dikeluarkan untuk membeli makan dan minuman tersebut adalah?

Biaya Layanan (Service Charge)
Nasi Goreng = Rp50.000
Es Teh Manis = Rp15.000
Tahu Goreng = Rp5.000
Telur Dadar = Rp10.000
Total Harga = Rp80.000
Service Charge = Tarif Biaya Layanan + Total Harga
= 5% x Rp80.000
= Rp4.000
Pajak Restoran/PB1
DPP = Total Harga + Biaya Layanan
= Rp80.000 + Rp4.000
= Rp84.000
PB1 = DPP x Tarif Pajak Restoran
= Rp84.000 x 10%
= Rp8.400
Total Harga
Jumlah harga keseluruhan dari pembelian makanan dan minuman di Restoran AAA tersebut adalah:
= DPP + PB1
= Rp84.000 + Rp8.400
= Rp92.400

 Sumber: https://klikpajak.id/blog/pajak-restoran-pengertian-tarif-hitung-bayar-dan-lapor-pb1/

Anda menyukai artikel ini?
Share/Bookmark

Makan Minum Kegiatan Rapat, Dikenakan Pajak Apa?

 

Bendahara pemerintah merupakan bagian dari pemungut dan/atau pemotong pajak yang ditunjuk oleh pemerintah dalam melaksanakan pemungutan maupun pemotongan pajak dari setiap transaksi belanja barang maupun jasa yang bersumber dari dana APBN maupun APBD. Bendahara pemerintah terdiri dari dari Bendahara Pusat, Bendahara daerah, dan Bendahara Desa.


Dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya tidak sedikit bendaharawan mengalami kesulitan dalam mengklasifikasikan jenis transaksi yang dilakukan terutama untuk bendahara daerah dan bendahara desa, misalnya dalam transaksi pengadaan makan minum kegiatan.

Kegiatan makan minum merupakan transaksi yang cukup sering dilakukan oleh para bendaharawan pemerintah, dalam transaksi ini seringkali bendaharawan mengalami kesulitan dalam mengklasifikasikan jenis PPh 22 atau PPh 23 atas jasa katering.


PPh atas jasa katering sendiri memiliki tarif 2% dengan rekanan yang ber-NPWP dan 4% dengan rekanan tanpa NPWP. Lalu apakah dikenakan PPN 10% yang berarti dikenakan pajak berganda dengan jenis pajak daerah berupa pajak restoran dan rumah makan sebesar 10% ataukah dibebaskan dari pengenaan PPN? Untuk itu kita akan bahas satu persatu.


Kriteria Jasa Katering

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.010/2015 tentang Kriteria Jasa Boga atau Katering yang Termasuk Dalam Jenis Jasa yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, jasa boga atau katering sendiri mempunyai beberapa kriteria yaitu:

  1. Sebagai jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan, penyimpanan, dan penyajian, untuk disajikan di lokasi yang diinginkan oleh pemesan.
  2. Penyajian makanan dan/atau minuman di lokasi yang diinginkan oleh pemesan sebagaimana dimaksud pada uraian pertama dapat dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
  3. Ketiga, tidak termasuk dalam pengertian jasa boga atau katering yaitu penjualan makanan dan/atau minuman yang dilakukan melalui tempat penjualan berupa toko, kios, dan sejenisnya untuk menjual makanan dan/atau minuman, baik penjualan secara langsung maupun penjualan secara tidak langsung/pesanan. Belanja selain dari penyedian jasa katering yang uraian kriterianya telah disebutkan maka termasuk belanja atau pengadaan yang dikenakan PPh 22 dengan tarif 1,5% untuk rekanan ber-NPWP dan 3% dengan rekanan tanpa NPWP.


Selanjutnya kita bahas mengenai PPN, apakah belanja makan minum dikenakan PPN? Menurut Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 pada Pasal 4A ayat (2), seluruh jenis jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah kelompok barang sebagai berikut:

 

  • Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang didapatkan langsung dari sumber barang tersebut. Misal: minyak mentah, gas bumi (tidak termasuk elpiji), panas bumi, asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batubara sebelum diproses menjadi briket, biji besi, biji timah, biji emas dan biji tembaga.
  • Barang kebutuhan pokok yang memang dibutuhkan dan dikonsumsi oleh masyarakat. Contohnya: beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging segar tanpa diolah, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.
  • Makanan dan minuman yang disajikan di restoran, hotel, warung, rumah makan, dan semacamnya yang meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat atau tidak. Termasuk di dalamnya makanan dan minuman yang diserahkan pengusaha jasa tata boga atau katering. Objek tersebut tidak dikenakan PPN agar tidak ada pemungutan pajak ganda karena objek ini merupakan objek pajak daerah.
  • Uang, surat berharga, dan emas batangan.


Berdasarkan uraian di poin tiga di atas, makanan dan minuman yang disajikan di restoran, hotel, warung, rumah makan, dan semacamnya yang meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat atau tidak, dikecualikan dari pengenaan PPN. Maka dapat disimpulkan bahwa setiap belanja sesuai uraian tersebut tidak perlu memungut PPN agar tidak terjadi pengenaan ganda terhadap pajak daerah berupa pajak restoran dan warung makan yang besarannya sama 10%.

Menurut uraian diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan sederhana sebagai berikut:

  1. Belanja makan minum dengan menggunakan jasa katering atau jasa boga sesuai kriteria yang telah disebutkan diatas, cukup dikenakan PPh 23 atas jasa katering dengan tarif sebesar 2% dengan rekanan yang memiliki NPWP, dan tarif sebesar 4% dengan rekanan tanpa NPWP serta tidak dikenakan PPN karena Jasa Katering atau Jasa Boga dikecualikan dari pengenaan PPN dan merupakan objek pajak daerah.
  2. Belanja makan minum yang disajikan di restoran, hotel, warung, rumah makan, dan semacamnya yang meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat atau tidak, cukup dikenakan PPh 22 sebagai belanja biasa dengan tarif 1,5% dengan rekanan yang memiliki NPWP dan tarif 3% dengan rekanan tanpa NPWP serta tidak dikenakan PPN karena belanja makan minum tersebut dikecualikan dari pengenaan PPN dan merupakan objek pajak daerah.
  3. Belanja makanan dan minuman di toko atau minimarket atau semacamnya, selain yang tercantum dalam uraian kedua, yang telah dikemas dan memiliki merk produk atau branding, maka dikenakan PPh 22 dengan tarif 1,5% dengan rekanan yang memiliki NPWP dan 3% dengan rekanan tanpa NPWP serta tetap dikenakan PPN sebesar 10% karena tidak termasuk dalam pengecualian pengenaan PPN dan bukan merupakan objek pajak daerah.
  4. Pajak makanan dan minuman untuk kegiatan rapat-rapat di Desa pada umumnya tidak menggunakan jasa boga atau jasa katering, melainkan pesanan makanan melalui rumah makan, warung atau toko. Dengan demikian, pajak atas belanja makanan dan minuman tersebut tidak dikenakan Pajak PPh 23 dan PPh 22, melainkan Pajak Daerah sebagai pengganti pajak Pusat, yaitu Pajak Restoran/Rumah Makan/PB1 dengan tarif sebesar 10% dan di setor ke Pemda.


Kejelasan ini semoga semakin memacu bendahara daerah maupun desa dalam memenuhi kewajibannya dengan baik dan benar.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.

Lebih lanjut di: https://www.pajak.go.id/id/artikel/mengklasifikasikan-belanja-makan-minum-bendahara-pemerintah

Sumber Penulis: Ahmad Bukhori, pegawai Direktorat Jenderal Pajak

Lebih lanjut di: https://www.pajak.go.id/id/artikel/mengklasifikasikan-belanja-makan-minum-bendahara-pemerintah

Anda menyukai artikel ini?
Share/Bookmark